Biografi: Bulang

GHIANINA MELIALA X MIA 1 / 17


Bulang




Kakek saya adalah seseorang yang hebat dan dihormati. Beliau bernama Lucas Meliala. Beliau lahir di Membang Muda, Sumatera Timur pada tanggal 22 September 1941. Sesuai orat tutur, atau istilah panggilan kekerabatan dalam tradisi Suku Karo, saya memanggil beliau “Bulang”. Bulang adalah putra sulung dari 13 bersaudara. Bulang adalah sosok yang ceria dan selalu mengandalkan Tuhan dalam segala peristiwa di hidupnya.


Perjalanan hidup Bulang tidak selalu berjalan dengan mulus. Bulang belajar dengan cara yang sulit bahwa hidup adalah jalan berliku dengan rintangan-rintangan yang tidak ada habisnya. Masa kecilnya tidak dihiasi dengan sinar matahari dan kebun bunga yang harum. Masa kecilnya susah dan suram. Pindah dari kampung ke kampung adalah suatu hal yang lazim baginya. Mengingat teknologi pada tahun-tahun itu, kendaraan bukanlah sebuah pilihan. Beliau beserta orangtua dan adik-adiknya harus melewati jalanan yang sukar untuk dilewati hanya untuk menghindari penjajah. Bisa dibilang bahwa rawa penuh lintah dan pohon tumbang yang berduri adalah makanannya sehari-hari. Di samping itu, masa kecil Bulang juga dijalani dengan penuh ketakutan. Bulang tumbuh besar saat negaranya masih milik orang lain. Kebebasan bukanlah miliknya saat itu. Bukan suatu hal yang asing jika Bulang harus bersembunyi di lubang di bawah ranjang tidur untuk menyelamatkan dirinya. Namun menariknya, apa yang dilihat Bulang tidak membuat beliau mundur, tetapi justru membuat beliau sadar akan apa yang harus dilakukan demi kehidupan yang lebih layak. 


Sejak kecil, Bulang menganggap pendidikan adalah pondasi bagi masa depannya. Pada tahun 1948, Bulang menetap di Sibolangit. Bulang menduduki bangku SD pada 1 Agustus 1948. Tanggal tersebut sangat diingat olehnya karena menurutnya pada tanggal itulah usaha pencapaian cita-citanya mulai berjalan dengan benar. Bulang melanjutkan pendidikannya di SMP Nasrani, kemudian karena faktor ekonomi, beliau sekeluarga pindah ke Medan (sekitar 4,5 km dari SMP Nasrani). Bulang tidak memandang kondisi keuangan sebagai penghambat untuk berkembang. Pada masa SMPnya, Bulang menjabat sebagai Ketua untuk semua kelas (sekarang disebut sebagai Ketua OSIS). Perjalanan pendidikan Bulang dihiasi dengan kerja keras membantu orangtuanya, mengurus adik-adiknya, sampai belajar untuk berdagang. Semua dijalani Bulang dengan tekad yang bulat dan nilai kejujuran yang beliau junjung tinggi. 


Bulang memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat. Sejak muda, Bulang suka berjualan dan mengelola usaha kecil-kecilan. Maka dari itu, Bulang ingin melanjutkan studi di bidang ekonomi. Namun, hal tersebut ditolak oleh ayahnya. Ayahnya bersikeras untuk memasukkan Bulang ke Fakultas Kedokteran. Fakta yang menarik, Bulang diberi nama Lucas oleh ayahnya karena ayahnya ingin beliau menjadi dokter, seperti Lucas sang penulis Injil yang juga seorang tabib. Setelah beberapa kali mencoba keluar dari rencana ayahnya, akhirnya Bulang setuju dan merantau ke Yogyakarta pada tahun 1960 untuk melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada. 


Masa kuliahnya pun tidak selalu berjalan dengan mulus. Banyak rintangan yang harus beliau hadapi. Selama perjalanan studinya di Yogyakarta, Bulang menikah dengan Christina Pinem (nenek saya yang saya panggil Pinem). Singkat cerita beliau menyelesaikan masa coschap (koas) pada Desember 1969. Lima tahun kemudian Bulang mendapat gelar sebagai spesialis Saraf dan Jiwa. Bulang pun sempat menjadi dosen di FK UGM. Sampai akhir hidupnya Bulang meraih 4 gelar (Prof. Dr. K.R.T. Lucas Meliala, Sp.Kj., Sp.S(K)). 


Bulang dan Pinem mempunyai empat anak dan sebelas cucu. Ayah saya adalah anak ketiga dan anak laki-laki satu-satunya. Semua anaknya di didik dengan baik oleh Bulang dan Pinem. Keempatnya sekarang bekerja di bidang kesehatan. Kisah hidup Bulang di bidang medis membuat saya ingin melanjutkan perjalanannya kelak.


Sejak saya lahir, saya tinggal bersama Bulang saya sampai tahun 2009, setelah Pinem saya meninggal dunia. Kemudian, saya pindah rumah ke rumah saya yang sekarang saya tinggali. Rumah saya terletak persis di sebelah rumah Bulang. Tidak ada pagar yang membatasi kedua rumah kami ini. Namun entah mengapa dulu saya bisa dibilang tidak terlalu sering mengunjungi beliau. Hal ini menjadi sesuatu yang saya sesali sampai sekarang. Meskipun begitu, pengalaman-pengalaman saya bersama Bulang tidak pernah tidak menyenangkan. Saat saya masuk SMP, Bulang lah yang menemani saya menjalani pendaftaran. Bulang juga sering mengajak saya dan sepupu-sepupu untuk melihat kebun miliknya di Cangkringan. Saya rasa Bulang menyukai kebun karena kebun mengingatkannya tentang kampung halamannya. Tak hanya kebun, Bulang juga suka mengajak cucu-cucunya ke luar negeri tanpa orangtua. Kami telah melakukan 2 perjalanan ke luar negeri bersama Bulang. Yang pertama adalah ke Singapura dan yang kedua ke Jepang. Hal-hal ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Bulang kepada keluarganya.


Sekitar tahun 2015, Bulang mengajak seluruh keluarga untuk menulis sebuah buku. Buku ini berisi tentang perjalanan hidup Bulang dari perspektifnya dan juga dari sosok Bulang sudut pandang orang-orang yang disayanginya. Buku yang berjudul “Harta dan Warisan Sesungguhnya” ini kemudian dirilis dan dibagikan pada 22 September 2016 saat perayaan ulang tahun Bulang yang ke-75. Di dalam buku yang diberikan kepada saya, Bulang menuliskan sebuah pesan. Pesan tersebut tertulis: “Untuk cucuku, Nina. Pertahankan hatimu yang bersih! Kembangkanlah ide dan keberanianmu”. Pesan tersebut adalah suatu hal yang saya pegang erat sampai sekarang.




Pada bulan November 2018, Bulang di diagnosis oleh dokter bahwa beliau mengidap kanker paru-paru stadium 3. Kami semua terpukul waktu itu. Namun Bulang tetap berpegang kepada Tuhan dan terus berjuang. Saat itu dokter memvonis Bulang 3 bulan jika tidak menjalani pengobatan. Hebatnya, Bulang menjalani chemotherapy sebanyak 4 kali. Semua ia jalani dengan sabar dan senyum. Ketangguhannya melewati semua itu masih membuat saya heran dan kagum. Selama 8 bulan, Bulang menjalani perjuangan terakhir di hidpunya. Akhirnya, Tuhan memanggil Bulang untuk kembali ke rumah-Nya pada tanggal 25 Juli 2019. Kesedihan bukan main saya rasakan hari itu. Seseorang yang sangat penting bagi saya kini telah tiada. Kerinduan saya akan Bulang tak akan mungkin hilang.


Bulang adalah sosok inspiratif bukan untuk saya saja, tapi untuk semua orang yang pernah ia temui. Sosoknya yang ceria dan suka menolong akan selalu membekas di pikiran saya. Saya sangat bersyukur mempunyai figur sehebat Bulang di hidup saya. Saya harap di masa yang akan datang saya dapat meneruskan perjuangan Bulang dan mungkin memulai perjuangan saya sendiri. 

Halo, Bulang. Senyummu akan selalu kurindukan.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi PANEN BESAR JAMBU BIJI DALAM POT

Resensi Lima Sekawan: Menyamarkan Teman